Pada hari Jumat, tanggal 13 Syawal 194 H. (810 M) di Kota Bukhara, lahirlah seorang anak yaang oleh ayahnya diberi nama Muhammad. Ayahnya bernama Ismail bin Ibrahim al-Ju’fi al-Bukhari. Ismail tampaknya cenderung kepada hadis nabawi. Ketika pergi haji pada tahun 179 H. beliau menyempatkan diri menemui tokoh-tokoh ahli hadis seperti Imam Malik bin Anas, Abdullah bin al-Mubarak, Abu Mu’awiyah bin Shalih, dan lain-lain.

Semangat ini kemudian diwariskan kepada putranya, Mohammad. Dan tidak berselang lama Ismail wafat ketika Mohammad masih kanak-kanak. Sebuah perpustakaan pribadi ditinggalkannya untuk Mohammad di samping semangat untuk mengaji hadis. Dalam keadaan yatim, Mohammad lalau diasuh oleh ibundanya dengan kasih sayang. Dibimbingnya untuk menyintai buku-buku peninggalan ayahnya. Dan bersama-sama kawan sebayanya Mohammad belajar membaca, menulis, al-Quran dan hadis.

Ketabahan ibu yang shalih ini akhirnya mulai membuahkan hasilnya ketika pada umur 10 tahun Mohammad muncul sebagai anak yang berlian otaknya mengalahkan anak-anak sebayanya. Dan pada waktu umur 10 tahun itulah Mohammad mulai mempelajari dan menghafal hadis.

Ketika berumur 11 tahun perpustakaan ayahnya sudah tidak memenuhi syarat bagi Mohammad. Cita-citanya untuk mendalami hadis semakin menggebu-gebu. Akhirnya Mohammad pergi menemui tokoh-tokoh-tokoh ahli hadis. Dan melihat kehebatan Mohammad ini, para gurunya juga tak urung memujinya. Betapa tidak, pada waktu berumur 16 tahun Mohammad sudah hafal kitab-kitab hadis yang ditulis oleh Abdullah bin al-Mubarak dan Waki’, dua tokoh ahli hadis terkemuka pada waktu itu.

Cita-cita Mohammad tidak berhenti sampai disitu. Dengan bimbingan ibundanya pada tahun 216 H. Mohammad diajak pergi haji ke Makkah, disertai kakaknya, Ahmad. Sesudah menunaikan ibadah haji, ibundanya bersama Ahmad pulang ke Bukhara, sedangkan Mohammad tinggal di Makkah.

Mengenal Tradisi Manaqiban

Di sinilah Mohammad mendalami hadis dari tokoh-tokoh ahli hadis seperti al-Walid al-Azraqi dan Ismail bin Salim al-Saigh. Kemudian pergi ke Madinah untuk mempelajari hadis dari anak cucu sahabat Nabi. Satu tahun Mohammad tinggal di Madinah, ia sempat menulis dua buah buku Qadlaya al-Sahabah wa al-Tabi’in dan al-Tarikh al-Kabir.

Fase berikutnya, Mohammad menjelajahi negeri-negeri lain, disamping sering mondar-mandir ke beberapa kota untuk menemui guru-guru hadis. Maka tersebutlah nama beberapa kota tempat Mohammad menyantri hadis, antara lain; Makkah, Madinah, Syam, Baghdad, Wasit, Basrah, Bukhara, Kufah, Mesir, Harah, Naisapur, Qarasibah, ‘Asqalan, Himsh, dan Khurasan.

Pemuda Mohammad ternyata bukanlah santri yang pasif yang hanya mampu menerima dan menghafal pelajaran saja. Mohammad adalah santri yang produktif, sembari belajar ia menulis buku. Maka tersebutlah nama-nama karya tulisnya, selain dua kitab tadi, sebagai berikut;

  • Al-Tarikh al-Shaghir
  • Al-Tarikh al-Ausat
  • Al-Dhu’afa
  • Al-Kuna
  • Al-Adab al-Mufrad
  • Al-Jami’ al-Shahih (Sahih al-Bukhari)
  • Raf al-Yadain fi al-Shalah
  • Khair al-Kalam fi al-Qiraah Khalf al-Imam
  • Al-Asyribah
  • Asami al-Sahabah
  • Bir al-Walidain
  • Khalq af’al al-‘Ibad
  • Al-Ilal fi al-Hadits
  • Al-Musnad al-Kabir
  • Al-Wuhdan
  • Al-Mabsut
  • Al-Hibah

Maka setelah berumur 62 tahun, anak yatim yang kemudian tersohor sebagai ahli hadis nomor wahid itu, setelah kembali menetap di Bukhara, pergi ke desa Khartank di kawasan Samarqand untuk menjenguk familinya yang bernama Ghalib bin Jibril. Beberapa hari Mohammad tinggal di situ sampai akhirnya sakit dan wafat pada hari Sabtu, malam Idul Fitri, 1 Syawal 256 H. (870 M). Semoga Allah merahmati dan meridhainya.

*dikutip dari tulisan Prof. Ali Mustafa Ya’qub

 

disadur dari: tebuireng.online

diakses pada 25/4/2020 pukul 10.25

 

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

error: Content is protected !!