Innalillahi,..Telah Berpulang ke Rahmatullah Al Allamah Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur

Beliau adalah al-Habib Abubakar al-Adni bin Ali al-Masyhur, ulama yang mempunyai pemikiran cemerlang di Abad ini, seorang ulama rabbani yang sosok da kepribadiannya  bisa menjadi contoh bagi umat Islam.

INNALILAHI WA INNA ILAIHI RAJIUN

Telah Meninggal Dunia Seorang Al Arifbillah Al Allamah Sayyidi Alhabib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur

Beliau adalah termasuk pembesar Bani Alawy Di zaman ini dan Khalifah Alim Ulama Di zaman Ini.
Orang yang sangat berjasa besar dalam kemajuan Islam di era zaman sekarang.

 

Beliau dikenal sebagai mufakkir atau pemikir dikarenakan kecerdasan intelektualnya mengenai peradaban zaman yang melampaui pemikir lainnya. Keuletannya dalam menuntut ilmu bisa terlihat dari karyanya yang beliau namai dengan Fiqh Tahawwullat.

Nama lengkap beliau ialah Al-Habib Abu Bakar bin Ali bin Abu Bakar bin Alawi bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Alawi bin Muhammad Al-Masyhur bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Syihab bin Abdurrahman bin Ahmad Syihabuddin bin Abdurrahman bin Ali bin Abu Bakar As-Sakran bin Al-Imam Al-Qutb As-segaf Syaikh Muhammad Maula Ad-Abdurrahman bin Dawilah bin Syaikh Ali Shohibud Dark bin Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam dan terus melantas kepada Baginda Nabi Muhammad Saw.

Habib Abu Bakar merupakan cendekiawan muslim yang berasal dari bumi sejuta wali, Hadramaut-Yaman. Kiprahnya dalam berdakwah telah masyhur di berbagai penjuru negeri, baik di Timur Tengah maupun di Eropa. Beliau dilahirkan di lembah Ahwar yang terletak di provinsi Aden, pada tahun 1366 H / 1947 M.

Ditempa Ilmu Syariat sejak Dini

Sejak belia, beliau dididik ilmu syariat agama oleh kedua orang tuanya. Tak heran jika dirinya mampu menghafal seluruh isi Al-Qur’an di masa muda. Beliau sudah bertalaqqi ke berbagai guru ternama di zamannya, baik di Aden maupun di Hadramaut. Bahkan, sejak usia 14 tahun, dirinya telah mendapatkan mandat dari sang ayah untuk menyampaikan khotbah Jumat di masjid-masjid sekitar.

Keberhasilan Habib Abu Bakar tak luput dari peranan kedua orang tuanya. Merekalah yang telah membangun karakter Habib Abu Bakar hingga menjadi figur ternama seperti sekarang.

Dalam tuturnya dia mengakui, “Keseluruhan hidupku tak terlepas dari peran orang tuaku, ayah dan ibuku. Ayahku sosok yang sangat disiplin mengatur waktu. Baginya, pendidikan dan ahlak adalah prioritas utama. Dia selalu memertamakan perihal ukhrawi dan mengesampingkan perihal duniawi. Acap kali aku menangis setiap mendengarkan lantunan Al-Qur’an yang ia baca pada sepertiga malam.”

Beranjak ke usia remaja, Habib Abu Bakar meneruskan pendidikan formalnya di Universitas Aden, dengan mengambil prodi Bahasa Arab. Tak lama setelah kelulusannya, negeri Yaman tak bersahabat, sebab banyak terjadi kekacauan dan fitnah yang dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Menyikapi hal ini, akhirnya beliau beserta keluarga memutuskan untuk hijrah ke negeri Hijaz.

Berguru kepada Habib Abdul Qadir Assegaf

Sesampainya ke negeri Hijaz, terbesit dalam hati dan pikirannya untuk melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar. Demikian itu karena Al-Azhar merupakan pusat berhimpunnya keilmuan dari berbagai penjuru dunia. Namun, selepas Habib Abu Bakar mengungkapkan hasratnya kepada orang tua, dirinya malah mendapat penolakan, dan mereka menyarankan agar dirinya melazimi kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf.

Sejak saat itu, Habib Abu Bakar merasakan irtibat (hubungan) yang kuat dengan sang murabbi. Ia memperoleh curahan ilmu lahir sekaligus ilmu batin. Baginya Habib Abdul Qadir Assegaf adalah figur ulama yang patut dijadikan sebagai suri tauladan di akhir zaman.

Setelah menjadi tokoh ternama di jazirah Arab, Habib Abu Bakar kembali ke negeri kelahirannya Hadramaut. Beliau menetap di daerah yang bernama Husaisah, kota mati yang menjadi tempat disemayamkannya kakek moyang para habaib (keturunan Rasulullah Saw) di Hadramaut, ialah Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa.

Habib Abu Bakar mendirikan rubat Al-Muhajir yang kemudian berkembang pesat dan diubah menjadi Universitas Al-Wasathiyyah pada tahun 2010. Sebab didirikannya lembaga tersebut semata-mata demi memenuhi perintah Nabi yang disampaikan kepadanya melalui mimpi. Tentunya hal ini tak bertolak belakang dengan fakta yang ada, karena barang siapa yang pernah melihat Nabi, sungguh ia telah melihat-Nya, dan hal tersebut dikhususkan bagi mereka yang memiliki hati bersih.

Letak perbukitan Husaisah berada sekitar 20 km dari kota Tarim, sistem pembelajaran di lembaga ini pun masih menganut dan mempertahankan metode ulama-ulama Hadramaut, yaitu talaqqi. Bagi mereka yang memilih sistem kuliah, maka ia akan lebih ditekankan kepada ilmu syariat dan hadits. Beda halnya dengan sistem rubat, yang dominan lebih cenderung membebaskan santri untuk menghadiri halaqah-halaqah di sekitar kota Tarim.

Aktif Menulis Kitab

Sanad keilmuan Habib Abu Bakar tak terhenti hanya kepada ulama Hadramaut dan Hijaz saja. Lebih dari itu, beliau telah melancong ke berbagai negeri seperti Mesir, Syam, Yordania hanya untuk mendapatkan sanad keilmuan dari ulama-ulama tersohor di sana.

Mahakarya yang terlahir dari tulisan beliau sangatlah banyak, kegigihannya dalam mengabdi kepada umat menyerupai para salafus salih. Bagaimana tidak? Karya-karyanya saja sudah mencapai 150 lebih yang mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, sejarah, sastra, jurnalistik, dakwah, kebudayaanmetodologi dll.

Habib Abu Bakar dan Fiqh Tahawwulat

Popularitas Habib Abu Bakar dan ilmu Fiqh Tahawwulat merupakan hal yang tak asing di kalangan para cendekiawan Islam di timur tengah. Fiqh Tahawwulat ialah keyakinan bahwa mengetahui tanda-tanda hari kiamat merupakan rukun agama ke-4.

Dalam hal ini, beliau bertolak belakang dengan opini mayoritas ulama yang mengatakan rukun agama ada tiga (Iman, Islam, dan Ihsan). Meski begitu, ideologi dan ijtihad Habib Abu Bakar tidak menjadikannya keluar dari agama Islam, karena tidak setiap perbedaan dalam syariat menunjukan adanya kekufuran.

Lantas, hal apa yang mendasari Habib Abu Bakar sehingga berpendapat dan mengambil kesimpulan bahwa rukun agama ada 4, dan yang ke-4 ialah mengetahui tanda-tanda kiamat?

Jawabnya ialah karena beliau mengambil dalil dari hadits Jibril, yaitu hadits pertama yang termaktub pada Hadits Arbain Nawawi. Singkatnya, seusai malaikat Jibril bertanya perihal Iman, Islam, dan Ihsan kepada Nabi, Jibril kembali bertanya mengenai kapan hari kiamat. Lalu Nabi menjawab, “Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya!” kemudian Jibril melanjutkan pertanyaannya, “Lantas apakah tanda-tanda dari kiamat itu sendiri?” sontak Nabi pun langsung menjelaskan tanda-tanda kiamat.

Demikianlah dalil yang menjadi sandaran Habib Abu Bakar, sehingga berkeyakinan bahwa mengetahui tanda-tanda kiamat adalah hal yang lazim, karena ia termasuk rukun agama. Dari sini kita bisa melihat, bahwa keluasaan cara berfikirnya melampaui pemikir cendekiawan mana pun di era modern sekarang.

Manfaat lahirnya istilah Fiqh Tahawwulat ialah membuktikan kebenaran hadits Nabi perihal munculnya tanda-tanda kiamat di akhir zaman. Fiqh Tahawwulat tidak terlahir begitu saja, namun terlahir setelah mengkaji dan menelaah tasfir ayat-ayat Al-Qur’an, Sunnah Nabi, serta Atsar para sahabat.

Demikian paparan biografi cendikiawan Islam era modern Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Mashyur, kiprahnya dalam dunia keilmuan Islam telah memberikan banyak manfaat terhadapa umat.

Mari Kita Kirim surah Al-Fatihah dengan Niat Menjadi Do’a untuk Beliau Yang Mulia Alhabib Abu Bakar Al Adni Bin Ali Al Masyhur.
Semoga Allah melimpahkan Rahmat dan mengangkat derajat Beliau bersama Para Datuk beliau ?

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

error: Content is protected !!